Plularisme Hukum Perdata di Indonesia

Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur mengenai hak sipil/privat di luar Hukum Pidana dan Hukum Administratif. Hukum Perdata berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer/BW) mengatur mengenai orang/individu, kebendaan, perikatan, dan pembuktian & daluwarsa.

Hukum perdata di Indonesia mempunyai beberapa sumber sehingga dapat dikatakan memiliki sifat yang plularistis. Plularisme tersebut terjadi karena adanya keanekaragaman di masyarakat dalam bentuk suku, agama, ras dan antargolongan yang mempunyai ciri khas/corak hukum masing-masing yang tidak dapat disatukan.

Atas keanekaragaman tersebut di atas, negara memberikan pengakuan, penghormatan dan perlindungan hukum atas masing-masing sumber hukum yang ada.

Sumber-sumber Hukum Perdata tersebut yaitu:

  1. Hukum Perdata Barat (dalam bentuk peraturan era Kolonial Hindia Belanda, antara lain: KUHPerdata, Hukum Dagang, dll);
  2. Hukum Islam (dalam bentuk Kompilasi Hukum Islam/ KHI);
  3. Hukum Adat (dalam bentuk kebiasaan yang mengakar di dalam suatu masyarakat adat tertentu); dan

Di dalam kehidupan masyarakat hukum-hukum tersebut terkadang saling mengisi kekosongan hukum, terkadang saling mempengaruhi, namun terkadang juga saling berbenturan yang terjadi karena adanya interaksi antara golongan penduduk di dalam masyarakat.

Seiring berjalannya waktu hukum-hukum tersebut di atas kemudian menemukan bentuk dan tempatnya masing-masing. Sebagian dipositifkan oleh negara dengan dituangkan ke dalam suatu Hukum positif (disahkan parlemen, antara lain: UU Pokok Agraria dan UU Perkawinan) yang bersifat unifikatif berlaku sama untuk semua orang; Sementara sebagian yang lain menjadi living law yang diakui oleh ahli hukum yang dikuatkan di dalam putusan-putusan pengadilan.

Namun tidak semua bidang hukum perdata dapat diunifikasi, masih ada yang bersifat plularistis yaitu hukum perdata dalam bidang:

  1. Waris;
  2. Wasiat; dan
  3. Hibah

Terhadap ketiga hukum tersebut masih berlaku penggolongan penduduk sebagaimana dahulu di atur Pasal 131 Indische Staatsregeling (IS) dan Pasal 163 IS yang mengatur bahwa penduduk Hindia Belanda dibagi atas 3 golongan yaitu:

  1. Golongan Eropa dan Tionghoa (tunduk pada Hukum Perdata Barat);
  2. Golongan Bumiputera (dapat tunduk pada hukum Perdata Barat, Hukum Adat, atau Hukum Islam);
  3. Golongan Timur Asing (tunduk pada hukum adat masing-masing).

Harap diperhatikan bahwa meskipun kini IS sudah dicabut, namun pencabutannya hanya terkait dengan kewarganegaraan, untuk penggolongan hukum terkait dengan Waris, Wasiat, dan Hibah masih diperhatikan

Terkait dengan hal tersebut di atas maka masyarakat harus memahami dengan jelas ketentuan yang berlaku untuk dirinya sesuai dengan golongannya apabila mempunyai kepentingan hukum terkait dengan Waris, Wasiat, dan Hibah.

Demikian penjelasan kami tentang Plularisme Hukum Perdata di Indonesia.

Harap diperhatikan bahwa penjelasan kami tersebut di atas adalah edukasi hukum bersifat umum dan bukan konsultasi hukum yang bersifat spesifik. Apabila ada yang ingin ditanyakan silahkan hubungi kami atau sampaikan langsung di kolom komentar di bawah.

Semoga bermanfaat.

Salam
Kontributor: Untung Wibowo
Email: notaris@achmaduntung.id
Telp/WA: 08111095665

Referensi:

  1. Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., “Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia”, Sinar Grafika, 2008;
  2.  Rizkisyabana Yulistyaputri, “Hukum Waris Indonesia BW| Hukum Islam | Hukum Adat Teori dan Peraktek, Rajawali Press, 2021.

Similar Posts

One Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *