Hibah Menurut Hukum Perdata Barat

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek/ BW), hibah diatur dalam Bab X Buku III yang dimulai dari Pasal 1666 sampai dengan Pasal 1693.

Menurut pasal 1666 BW, Hibah dirumuskan sebagai berikut “hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, pada waktu hidupnya, dengan cuma-cuma memberikan harta atau benda dan tidak dapat ditarik kembali.”

Prinsip Hibah

Terkait dengan hibah, terdapat beberapa prinsip terkait dengan hibah yang perlu diperhatikan, yaitu:

  1. Hibah harus dibuat dengan akta notaril;
  2. Hibah diberikan pada saat pemberi hibah masih hidup dengan cuma-cuma tanpa kontra prestasi dari penerima hibah;
  3. Hibah baru terjadi pada saat diterima dengan kata-kata yang tegas oleh penerima hibah (dalam peraktek penerimaan hibah dilakukan bersamaan dengan pembuatan akta hibah di hadapan notaris;
  4. Yang menjadi objek perjanjian adalah segala macam harta benda milik penghibah (baik berwujud atau tidak berwujud);
  5. Antara suami dan istri dilarang saling menghibahkan kecuali untuk barang yang nilainya tidak material;
  6. Hibah kepada anak yang belum dewasa (berdasarkan BW, 21 Tahun), diterima oleh orang tua atau walinya;
  7. Hibah tidak dapat ditarik kembali kecuali karena alasan tertentu.

Peralihan Hak Atas Benda Yang Dihibahkan

Berikut alasan penarikan kembali hibah sebagaimana diatur di Pasal 1688 BW:

  1. Karena tidak memenuhi syarat resmi untuk melakukan hibah:
  2. Jika penerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan kejahatan terhadap penghibah;
  3. Apabila penerima hibah menolak memberi nafkah /tunjangan kepada penghibah, dalam hal penghibah jatuh miskin.

Dengan terjadinya penarikan atau penghapusan hibah ini, maka segala macam barang yang telah di hibahkan harus segera dikembalikan kepada penghibah dalam keadaan bersih dari beban-beban yang melekat di atas barang tersebut.

Pajak Hibah

Berdasarkan PMK No.90/PMK.030/2020 Hibah dapat tidak dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) dengan syarat hibah tersebut diterima oleh:

  • Keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat (misal dari anak ke orangtua atau sebaliknya, sementara antara saudara tidak termasuk);
  • Badan keagamaan;
  • Badan Pendidikan;
  • Bedan Sosial termasuk Yayasan;
  • Koperasi atau Orang Pribadi yang menjalankan usaha mikro atau kecil (dengan syarat memiliki kekayaan bersih paling banyak 500 JT tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, serta memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 2,5 Milyar, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pemberi hibah dan penerima hibah).

*Sebagai catatan, atas harta hibah sesuai dengan kriteria PPH bukan objek pajak tetap harus di laporkan dalam SPT tahunan.

Demikian penjelasan kami tentang Hibah Menurut Hukum Perdata Barat

Harap diperhatikan bahwa penjelasan kami tersebut di atas adalah edukasi hukum bersifat umum dan bukan konsultasi hukum yang bersifat spesifik. Apabila ada yang ingin ditanyakan silahkan hubungi kami atau sampaikan langsung di kolom komentar di bawah.

Semoga bermanfaat.

Salam.

Kontributor: Indah Puspita

Email: team@achmaduntung.id

Telp/WA: 021-85511993/ 08111095665

Referensi:

  1. Prof.Dr.H. Eman Suparman, S.H., M.H.  Hukum waris Indonesia (Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW) Hal 117, PT. refika Aditama 1985.
  2. https://www.pajakku.com/read/6058500befa1bb468437ddbb/Pajak-Hibah:-Pengertian-Persyaratan-dan-Pengecualian

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *